Sabtu, 12 Juni 2010

MORFEM DASAR, BENTUK DASAR, PANGKAL (STEM), dan AKAR (ROOT)

Morfem dasar, bentuk dasar (lebih umum dasar (base) saja), pangkal (stem), dan akar (root) adalah empat istilah yang biasa digunakan dalam kajian morfologi. Namun, seringkali digunakan dengan pengertian yang kurang cermat, atau malah berbeda. Oleh karena itu, sejalan dengan usaha yang dilakukan oleh Lyons (1977:513) dan Matthews (1972:165 dan 1974:40,73).

Sebuah morfem dasar dapat menjadi sebuah bentuk dasar atau dasar (base) dalam suatu proses morfologi. Artinya, bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi.

Istilah bentuk dasar atau dasar (base) saja biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Bentuk dasar ini dapat berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem. Contoh pada kata berbicara yang terdiri dari morfem ber- dan bicara, maka bicara adalah menjadi bentuk dasar dari kata berbicara itu, yang kebetulan juga berupa morfem dasar. Dalam bahasa Inggris kata books bentuk dasarnya adalah book, dan kata singers bentuk dasarnya adalah singer, sedangkan kata singer itu sendiri bentuk dasarnya adalah sing.

Istilah pangkal (stem) digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi, atau proses pembubuhan afiks inflektif. Contoh bentuk inflektif kita ambil dari bahasa Inggris. Pada kata books pangkalnya adalah book. Dalam bahasa Indonesia kata me-nangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi, dan morfem me- adalah sebuah afiks inflektif.


Akar (root) digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya, baik afiks infleksional maupun afiks deverensionalnya ditanggalkan. Misalnya, kata Inggris untouchables akarnya adalah touch. Proses pembentukan kata untouchables itu adalah: mula-mula pada akar touch dilekatkan sufiks able menjadi touchable, lalu, dilekatkan prefiks un- menjadi untouchable, dan akhirnya, diimbuhkan sufiks -s sehingga menjadi untouchables.

Perlu diketengahkan adanya tiga macam morfem dasar bahasa Indonesia dilihat dari status atau potensinya dalam proses gramatika yang dapat terjadi pada morfem dasar itu. Pertama, adalah morfem dasar bebas, yakni morfem dasar yang secara potensial dapat langsung menjadi kata, sehingga langsung dapat digunakan dalam ujaran. Misalnya, morfem {meja}, {kursi}, dan {pergi}. Namun, disini pun ada derajat kebebasan yang lebih rendah dari morfem-morfem seperti {meja} di atas. Kedua, morfem dasar yang kebebasannya dipersoalkan. Yang termasuk ini adalah sejumlah morfem berakar verba, yang dalam kalimat imperative atau kalimat sisipan, tidak perlu diberi imbuhan, dan dalam kalimat deklaratif imbuhannya dapat ditanggalkan. Verhaar (1978) memasukkannya ke dalam kelompok prakategorial, tetapi dalam naskah lain yang belum diterbitkan disebutnya bentuk pradasar. Kedalam kelompok ini termasuk morfem-morfem seperti {-ajar}, {-tulis}, dan {-lihat}. Ketiga, morfem dasar terikat, yakni morfem dasar yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi kata tanpa terlebih dahulu mendapat proses morfologi. Misalnya, morfem {juang}. Ke dalam kelompok ketiga ini dapat dimasukkan juga sejumlah morfem yang hanya dapat muncul pada pasangan tetap, seperti renta (yang hanya muncul pada tua renta), kerontang ( yang hanya muncul pada kering kerontang), dan kuyup (yang hanya muncul pada basah kuyup).

Jumat, 11 Juni 2010

Klasifikasi Morfem

a. Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Yang dimaksud dengan morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus adalah termasuk morfem bebas. Maka morfem-morfem itu dapat digunakan tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya dengan morfem lain. Sebaliknya, yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Semua afiks dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat. Begitu juga dengan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris juga termasuk morfem terikat. Berkenaan dengan morfem terikat ini dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, yaitu:

1. Bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat, karena bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut bentuk prakategorial (lihat Verhaar 1978).

2. Sehubungan istilah prakategorial di atas, menurut konsep Verhaar (1978) bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam pertuturan sesudah mengalami proses morfologi.

3. Bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Lalu, karena hanya bisa muncul dalam pasangan tertentu, maka bentuk-bentuk tersebut disebut juga morfem unik.

4. Bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dari, pada, dan, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.

5. Klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya, apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, biasanya hanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kuambil. Sedangkan enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti lah, -nya, dan -ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku.

b. Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Perbedaan morfem utuh dan morfem terbagi berdasarkan bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut, apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah. Umpamanya pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi, yakni {ke-/-an}. Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia.

c. Morfem Segmental dan Suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan morfem suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya. Misalnya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara di Benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan penunjuk kala (tense) yang berupa nada.

d. Morfem Beralomorf Zero
Dalam linguistik deskriptif ada konsep mengenai morfem beralomorf zero atau nol (lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa “kekosongan”.

e. Morfem Bemakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal
Yang dimaksud dengan morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses terlebih dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kuda} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas, dan mempunyai kedudukan yang otonom di dalam pertuturan.
Sebaliknya, morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi. Yang biasa dimaksud dengan morfem tak bermakna leksikal ini adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.

Ada satu bentuk morfem lagi yang perlu dibicarakan atau dipersoalkan mempunyai makna leksikal atau tidak, yaitu morfem-morfem yang di dalam gramatika berkategori sebagai preposisi dan konjungsi. Morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi jelas bukan afiks dan jelas memiliki makna. Namun, kebebasanya dalam pertuturan juga terbatas, meskipun tidak seketat kebebsan morfem afiks. Kedua jenis morfem inipun tidak pernah terlibat dalam proses morfologi, padahal afiks jelas terlibat dalam proses morfologi, meskipun hanya sebagai pembentuk kata.

Morf dan Alomorf

Sudah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain.
Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan kata lain, alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua, atau juga enam. Selain itu bisa juga dikatakan morf atau alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.
Dalam tata bahasa tradisional nama yang digunakan adalah awalan me-, dengan penjelasan, awalan me- ini akan mendapat sengau sesuai dengan lingkungannya. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dipilih alomorf meng- sebagai nama morfem itu, dengan alasan alomorf meng- paling banyak distribusinya. Namun, dalam studi linguistik lebih umum disebut morfem meN- (dibaca: me- nasal; N besar melambangkan Nasal).

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA

A. ASIMILASI
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama atau hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi – bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi.

B. DISIMILASI
Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda

C. MODIFIKASI VOKAL
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya

D. NETRALISASI
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan sekitar.

E. ZEROISASI
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa – bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia dan terus berkembang karena secara diam – diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya

F. METATESIS
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing.

G. DIFTONGISASI
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap secara berurutan

H. MONOFTONGISASI
Monoftongisasi adalah perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap menjadi bunyi vokal tunggal.

I. ANAPTIKSIS
Anaptiksis adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu diantara dua konsonan untuk memperlancar ucapan.

Pengertian Bahasa

1. Sestem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri,
2. Kata yang digunakan untuk menghubungkan suatu ujaran,
3. Alat komunikasi antar anggota masyarakat, yang berupa bunyi suara atau tanda/isyarat atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada manusia yang lain,
4. Satu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan, dan keadaan,
5. Satu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep real mereka kedalam pikiran orang lain,
6. Satu kesatuan sistem makna,
7. Satu kodeyang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna,
8. Satu sistem tuturan yang dapat dipahamioleh masyarakat linguistik,
9. Satu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah diucapkan,
10. Perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb).



Sumber :
• Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia dan Peristilahan dalam Bahasa
• Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3
• Kamus Umum Bahasa Indonesia
• Tata Bahasa Bahasa Indonesia

MORFEM

Untuk menentukan sebuah satuan bentuk adalah morfem atau bukan, kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Kalau bentuk tersebut ternyata bisa hadir secara berulang-ulang dengan bentuk lain, maka bentuk tersebut adalah sebuah morfem. Sebagai contoh kita ambil bentuk {kedua}, ternyata bentuk {kedua} dapat kita banding-bandingkan dengan bentuk-bentuk sebagai berikut.

ketiga

kelima

ketujuh

kedelapan

kesembilan

kesebelas

Ternyata juga semua bentuk ke pada contoh di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan yang mempunyai makna yang sama, yaitu menyatakan tingkat atau derajat. Dengan demikian bentuk ke pada contoh di atas, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama, bisa disebut sebagai sebuah morfem.

Dalam studi morfologi suatu satuan bentuk yang berstatus sebagai morfem biasanya dilambangkan dengan mengapitnya di antara kurung kurawal. Misalnya, kata Indonesia mesjid dilambangkan sebagai {mesjid}; kata kedua dilambangkan menjadi {ke} + {dua}, atau bisa juga ({ke} + {dua}). Selama morfem itu berupa morfem segmental hal itu mudah dilakukan.

Sudah disebutkan bahwa morfem adalah bentuk yang sama, yang terdapat berulang-ulang dalam satuan bentuk yang lain.

Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama itu disebut alomorf. Dengan kata lain, alomorf adalah perwujudan konkret (di dalam pertuturan) dari sebuah morfem. Jadi, setiap morfem tentu mempunyai alomorf, entah satu, entah dua, atau juga enam. Selain itu bisa juga dikatakan morf atau alomorf adalah dua buah nama untuk sebuah bentuk yang sama. Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya, sedangkan alomorf adalah nama untuk bentuk tersebut kalau sudah diketahui status morfemnya.

Dalam tata bahasa tradisional nama yang digunakan adalah awalan me-, dengan penjelasan, awalan me- ini akan mendapat sengau sesuai dengan lingkungannya. Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dipilih alomorf meng- sebagai nama morfem itu, dengan alasan alomorf meng- paling banyak distribusinya. Namun, dalam studi linguistik lebih umum disebut morfem meN- (dibaca: me- nasal; N besar melambangkan Nasal).